Rabu, 18 April 2012

Kualifikasi Etik Seorang Mufassir Al-Qur'an



Perlunya al-Qur’an itu ditafsirkan karena pada hakekatnya al-Qur’an merupakan kalam Allah dan substansi dari al-Qur’an itu sendiri masih bersifat global sehingga belum adanya terlihat spesifikasi yang lebih jelas. Jika kita memaknai Al-Qur’an apa adanya niscaya kita akan mengalami kesulitan dalam memahaminya, oleh karena itu para ulama menyepakati perlu adanya suatu kaedah dalam menafsirkan al-Qur’an agar kita dengan mudah memaknai serta memahami substansi dan kandungan-kandungan ayat dari kalam Allah tersebut.
Adapun keharusan seseorang dapat menafsirkan al-Qur’an antara lain adalah harus mampu menguasai ilmu alat yaitu tentang bahasa arab misalnya nahwu, sorof, asbabun Nuzul secara menyeluruh, mantiq dan balagoh yakni tentang sastra arab, majas-majas dan harus mengetahui nasikh-mansukh yaitu hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an. Jika syarat-syarat tersebut telah di penuhi niscaya akan dengan mudah mengetahui makna-makna yang belum di spesifikasikan sebelumnya dalam al-Qur’an.
Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang:
Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya terhadap manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”
Menafsirkan Al-Quran merupakan perbuatan dan amanah yang berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Sebagaicontoh : dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
            Dalam hal ini Imam Ibn Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Menurut Imam Ibnu Jarir al-Ṭabarī, ciri-ciri para penafsir, yang paling mendekati kebenaran dan paling bagus tafsirnya adalah: mereka yang paling jelas argumentasi atas penafsiranya dan paling benar penalarannya terhadap ilmu yang diutarakannya dari segi arti kalimat dengan cara mencocokkannya dengan syi’ir, amthāl, dan bahasa Arab, dan pendapat ulama salaf seperti sahabat, tabi’in, dan para ulama. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwasanya penafsiran seseorang sangat bergantung pada kualitas ilmu, kecondongan, dan keyakinannya. Inilah alasan mengapa penafsiran itu bersifat relatif dan tidak kebal kritik. Dengan kata lain, ketika penalaran manusia yang relatif dicurahkan pada al-Quran yang bersifat absolut, maka hasilnya relatif karena adanya pengaruh unsur-unsur manusiawi di dalamnya. Tidak seorang pun berhak mengklaim penafsirannya adalah kata-kata Allah, karena ia lebih pada hasil olah otaknya yang serba terbatas.

1.      Syarat-syarat mufassir
Beberapa tokoh mengemukakan syarat yag berbeda yang harus dimiliki mufassir. Antara lain adalah:
a. Syeikh Jalaluddin as-Suyuthi:
Syarat bagi seorang nufassir adalah menguasai ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu lughah, ilmu isytiqaq, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu qiraat, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh, ilmu asbabun nuzul, ilmu qashas, ilmu nasikh mansukh, ilmu hadits dan ilmu mauhibah.
b. Syeikh Manna’ al-Qaththan:
Secara ringkas, syarat dan tata cara menafsirkan adalah harus berakidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, menafsirkan lebih dulu, Alquran dengan Alquran, mencari penafsiran dari sunnah, karena al-Sunnah, pendapat para sahabat dan dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang bertalian dengan Alquran (‘ulum al-Quran) dan memiliki ketajaman fikiran.

2.      Kode etik yang diperlukan oleh mufassir.
Selain mempunyai ilmu pengetahuan yang luas tentang tafsir para mufassir perlu memiliki dan menampakkan budaya yang bagus dan etika yang indah dan bersahaja. Adapun etika yang harus dimiliki oleh mufassir adalah:
a. Niat yang baik dan tujuan yang murni, karena amal perbuatan itu ber-gantung pada niat.
b. Karakter yang baik, sebab mufassir sebagai seorang pendidik yang didikan-nya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal dan akhlaq perbuatan mulia.
c. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melalui orang yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang me-miliki ketinggian pengetahuan dan kecermatan kajiannya.
d. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayat-kannya.
e. Kerendahan hati dan kelembutan, karena kesombongan ilmiah merupa-kan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan ke-manfaatan ilmunya.
f. Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.
g. Terus terang dalam kebenaran, karena jihad paling utama adalah me-nyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa zhalim.
h. Tingkah laku baik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan ter-hormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
i. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara, tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas, kata demi kata.
j. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufassir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat.
k. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, me-nerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan i'rab yang padanya bergantung penentuan makna.
Itulah beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan menafsiri Alqur an(secara mandiri). Sebagaimana  seorang mufassir kontemporer, ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 
1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam. 
2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia saat ini agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer.  
3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
            Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir juga harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’. Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Dan Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’yu sebatas yang diperbolehkan, tentu saja setelah ia mengetahui serta memenuhi syaarat-syarat di atas.
Mengingat pada zaman modern ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat, maka sebagian ulama mengarang kitab tafsir dengan metode-metode tertentu sebagai akibat dan respons terhadap tantangan itu. Ini berarti seorang penafsir yang hidup saat ini dituntut menguasai jauh lebih banyak disiplin ilmu daripada para penafsir sebelumnya, terutama ilmu-ilmu yang sedang berkembang dan dikaji saat ini.
Sebagai contoh, tafsir al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur`ān al-Karīm karya Ṭanṭāwī Jawharī (1287-1358 H/ 1870-1940 M). Dalam tafsir ini ia membahas tentang keajaiban-keajaiban alam secara ilmiah dengan teori-teori modern dan ilmu-ilmu baru yang belum pernah ‘dijamah’ oleh orang-orang Arab. Menurutnya, di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat ilmu pengetahuan yang jumlahnya lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Ia juga menganjurkan umat Islam agar memikirkan ayat-ayat al-Quran yang menunjuk pada ilmu-ilmu alam, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan, untuk masa kini, harus lebih diperhatikan daripada ayat-ayat lain, bahkan dari kewajiban-kewajiban agama sekalipun. Tafsir ini dipandang sebagai karya tafsir sarjana Islam kontemporer yang kurang berhasil, karena memuat uraian-uraian yang terlalu melebar, mencakup hal-hal yang kurang perlu. Bahkan Ṣubḥī al-Ṣāliḥ, sebagaimana dinukil oleh Rif’at Syauqi Nawawi, menilai sinis tafsir ini karena di dalamnya terdapat segalanya kecuali tafsir.

Selasa, 10 April 2012

"SELJUK" at glance


Kekaisaran Seljuk Raya adalah imperium Islam Sunni abad pertengahan yang pernah menguasai wilayah dari Hindu Kush sampai Anatolia timur dan dari Asia Tengah sampai Teluk Persia. Dari tempat awal mereka di Laut Aral, Seljuk bergerak pertama ke Khorasan dan lalu ke Persia daratan sebelum menguasai Anatolia timur.
Dinasti Seljuk Inilah kekaisaran Islam pertama Turki yang memerintah dunia Islam. Kekuasaan yang digenggamnya begitu luas meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah-terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia. Kekaisaran Seljuk Agung yang mulai menancapkan kekuasaan pada abad ke-11 M hingga 14 M itu didirikan suku Oghuz Turki yang memeluk Islam mulai abad ke-10 M. Sejatinya, Kekaisaran Seljuk dirintis oleh Seljuk Bek. Namun, Kerajaan Seljuk yang berdiri pada 1037 M itu baru terwujud pada era kepemimpinan Thugril Bek yang berkuasa hingga 1063 M. Sejarah mencatat Dinasti Seljuk sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam yang ketika itu nyaris tenggelam.
Dalam waktu yang singkat, wilayah kekuasaan Kerajaan Seljuk pun kian bertambah luas. Dinasti Seljuk mencapai puncak kejayaannya ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur Tengah seperti Irak, Persia, Suriah serta Kirman. Sebagai negara yang sangat kuat, Dinasti Seljuk amat disegani. Pada tahun 1055 M, Kerajaan Seljuk sudah mampu menembus kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fathimiyyah. Dua dasawarsa berikutnya, ketangguhan militer Seljuk mampu memukul mundur Bizantium yang bercokol di Palestina - kota suci ketiga bagi umat Islam - dalam peristiwa Manzikert 1071 M.
Pemerintahan Dinasti Seljuk yang berpusat di Anatolia itu amat toleran. Kehadirannya seakan menjadi penerang bagi rakyatnya. Meski berasal dari salah satu suku di Turki, para penguasa Seljuk sangat menghargai perbedaan ras, agama, dan jender. Di bawah bendera Seljuk, umat Islam dapat hidup dalam kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Pada era dinasti ini aktivitas keagamaan berkembang dengan pesat. Hal itu ditandai munculnya kegiatan sufisme. Tak cuma itu, ilmu pengetahuan pun turut berkembang. Sederet ilmuwan dan ulama muncul dari Dinasti Seljuk seperti, Al-Ghazali (1038 M - 1111 M) serta Umar Al-Khayam-seorang penyair terkemuka. Kekaisaran Seljuk juga sangat mendukung dan mendorong perkembangan kebudayaan, salah satunya seni bina bangun atau arsitektur. Tak heran, bila pada era kekuasaan Dinasti Seljuk banyak berdiri karya-karya arsitektur yang mengagumkan. Dinasti ini mampu menghidupkan kembali pencapaian Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah dalam bidang bina bangunan.
Kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur begitu besar. Sejarah mencatat beberapa kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur antara lain;
pertama, memperkenalkan konsep baru tempat imam di masjid.
Kedua, mengembangkan dan memperbanyak madrasah untuk sarana pendidikan.
Ketiga, memperkenalkan caravanserai.
Keempat, mengembangkan dan mengelaborasi arsitektur makam.
Kelima, keberhasilan membangun kubah berbentuk kerucut.
Keenam, mempromosikan penggunaan motif-motif muqarnas.
Ketujuh, memperkenalkan elemen pertama seni baroque yang menyebar ke seluruh Eropa di abad ke-16 M. Kehebatan dan keunikan gaya arsitektur Seljuk telah diakui dunia, termasuk arsitektur modern. Para arsitek Barat pun banyak belajar dari arsitektur Seljuk.