Jumat, 11 Mei 2012

Al_Kindi


1.      Biografi
“Yaʻqūb ibn Isḥāq al-Kindī (Arabic: يعقوب بن اسحاق الكندي, Latin: Alkindus) (c. 801–873 CE), known as "the Philosopher of the Arabs", was a Muslim Arab scientist, philosopher, mathematician, physician, and musician. Al-Kindi was the first of the Muslim peripatetic philosophers, and is unanimously hailed as the "father of Islamic or Arabic philosophy"for his synthesis, adaptation and promotion of Greek and Hellenistic philosophy in the Muslim world.
Al-Kindi was a descendant of the Kinda tribe. He was born and educated in Kufa, before going to pursue further studies in Baghdad. Al-Kindi became a prominent figure in the House of Wisdom, and a number of Abbasid Caliphs appointed him to oversee the translation of Greek scientific and philosophical texts into the Arabic language. This contact with "the philosophy of the ancients" (as Greek philosophy was often referred to by Muslim scholars) had a profound effect on his intellectual development, and lead him to write hundreds of original treatises of his own on a range of subjects ranging from metaphysics, ethics, logic and psychology, to medicine,pharmacology,mathematics, astronomy, astrology and optics, and further afield to more practical topics like perfumes, swords, jewels, glass, dyes, zoology, tides, mirrors, meteorology and earthquakes.

Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Kakeknya Asy’ats bin Qais, dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah. Dilahirkan di Kufah pada tahun 185 H (801 M). Ayahnya bernama Ishaq Ashshabbah, Gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, wafat 252 H (861 M). Gelar al-Kindi dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Dari suku Kindah ini pula, lahir seorang penyair besar bernama Imra`ul Qais (w. ± 540 M). Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan al-Rasyid (786-809). Nama al-Kindi dikenal di kemudian hari melalui kitab-kitabnya yang berjumlah tidak kurang dari 241 buah dalam bidang filsafat, logika aritmatika, kedokteran, ilmu jiwa, politik, musik, matematika, dan lain-lain.
Pendidikan dasar ditempuh al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.
Al-Kindi adalah filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filosof Yunani di dunia Islam, terutama pada abad pertengahan di masa pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833) yang mengundangnya untuk mengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Al-Kindi hidup dalam atmosfer intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Ketika khalifah al-Mutawakkil memerintah, mazhab resmi negara (yang sebelumnya menganut mazhab/aliran Mu’tazilah) diganti menjadi Asy’ariyah. Dua orang putra Ibnu Syakir, Muhammad dan Ahmad, mencoba menghasut al-Mutawakkil dengan mengatakan bahwa orang yang mempelajari filsafat cenderung kurang hormat pada agama. Al-Mutawakkil kemudian memerintahkan agar al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Kindiyyah disita (meski kemudian dikembalikan). Al-Kindi meninggal pada 866 M/252H.
2.      Filsafat Al-Kindi
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Bagi al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan). Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Tuhan menurut al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu esa, azali, unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh dan bergerak. Ia hanyalah keesaan belaka. Selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Sebagaimana telah diketahui, al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran filsafat Al-Kindi ialah:
1.      Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
2.      Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
3.      Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4.      Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersama-sama dalam soal etika.
5.      Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan Sifat-sifatNya.
6.      Pikiran-pikiran aliran Mu'tazilah dalam penghargaan kekuatan akal dan dalam mena'wilkan ayat-ayat Qur'an.
Oleh karena pemikiran al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Tetapi bila pemkirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya Ia mempunyai kepribadian sendiri.
Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat Ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya. Selain itu, banyak pengamat mengatakan, bahwa yang mempengaruhi pemikiran al-Kindi bukan hanya filsafat Yunani, akan tetapi juga aliran Mu'tazilah yang sangat berpegang teguh terhadap al-Qur'an dan kekuatan akal, terutama di dalam mengemukakan pendapatnya yang berhubungan dengan masalah Ketuhanan.
Ia juga merupakan filosof muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.


Ahwan (al), Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
Busyairi, Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press, 1997
Daudy, Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
_____________, Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Ghazali (al), Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967
Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Munawir, Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985
Nasution, harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996
_____________, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
 Oemar, Amin Husein, Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991
Syarif, M.M., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994
Thawil, Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993
Zaenal Abidin, Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949

Selasa, 01 Mei 2012

Ikhwan al_Safa


A.    Sejarah Ikhwan al-Safa
Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang.
Ikhwan al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd. Salah satu ajaran Ikwan al-Safa adalah paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan), paham ini disebabkan basis kegiatannya berada ditengah-tengah masyarakat sunni yang nota bene adalah lawan ideologi dari Ikhwan al-Safa (Syi’ah), kerahasiaan kelompok ini juga disebabkan oleh dukungan mereka terhadap faham mu’tazilah yang telah dihapuskan dari madzhab Negara oleh khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte sunni). maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan kemudian diusir dari Baghdad.
Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusateraan, ilmu, dan filsafat. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Berdasarkan permasalahan itulah kelompok ini selain bergerak di bidang keilmuan juga bertendensi politik.
Pada masa khilafah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham sunni, gerakan kelompok ini dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya dipandang sesat. Maka pada tahun 1150 Khalifah Al-Muntazid menginstruksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwán dibakar. Hal ini disebabkan karena perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salajikah yang Sunni dengan kelompok Ikhwan al-Safa yang Syiah.
Ikhwan al-Shafa’ merupakan gerakan yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya. Tokoh terkemuka kelompok ini adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa’ah selaku ketua dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany.
Lahirnya Ikhwan al-shafa’ adalah ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat telah dinodai bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan.
Dalam kelompok ini ada empat tingkatan anggota sebagai berikut:
Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid, karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
Al-Ikhwan al-Akhyar , yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
Al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada diatas alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-muqarrabun.
Salah satu karya fenomenal Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Safa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.

B.     Konsep Pendidikan Ikhwan al-Safa
Wilayah pendidikan meliputi, antara lain: tempat (keluarga, sekolah, masyarakat); pelaku (diri sendiri, orang lain, lingkungan); dan daerah (hati, akal, jasmani). Namun secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha mendewasakan atau mencapai kedewasaan seseorang melalui pengajaran dan pelatihan.
Dalam konteks Islam, pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya inheren dengan konotasi istilah tarbiyyah, ta’lim dan ta’dib yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia, masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Walaupun bukan merupakan suatu komitmen, kata tarbiyah merupakan kata yang paling populer untuk menunjuk pendidikan di negara-negara Arab, sehingga kita lebih sering mendengar istilah Kulliyyah Tarbiyyah, atau fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia daripada kata yang lain. Penggunaan kata tarbiyah untuk menunjuk pendidikan pertama kali muncul, berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia Arab pada pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan istilah tersebut adalah Abdurrahman al-Nahlawi.
Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan al-Shafa menguraikan teorinya dengan komprehensif, sempurna, dan gradual. Secara garis besar uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah aktivitas moral untuk mencapai kebaikan bagi manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan hal yang urgensi dan esensi bagi manusia. Dan sebagai konsekuensi, mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal tersebut.
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau pengalaman dari seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas dari itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil, tetapi sejak seorang anak masih dalam kandungan. Saran para dokter agar ibu yang hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya, menurutnya, adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat berpengaruh pada kesehatan bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh pada intelektual dan kejiwaan sang bayi. Keberadaan janin dalam rahim selama sembilan bulan, hanyalah demi kesempurnaan bentuk dan kejadian sang bayi.
Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia akan terus dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan al-Safa menganalogikan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan kertas putih dan bersih, tidak ada tulisan apapun, sebagaimana sabda Nabi SAW. sewaktu jiwa telah diisi oleh suatu pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar maupun yang batil, maka sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk dihapuskan. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehatan indrawi bayi atau anak hendaknya diberikan sejak dini, karena ia merupakan jendela masuknya dunia luar ke dalam jiwa. Kesadaran kuat Ikhwan al-Safa terhadap urgensi indra dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik-jasmani untuk kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya. Dalam risalah yang lain, mereka menekankan perlunya memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama agar jangan sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya kebutuhan makan, minum, gerak dan istirahat dari fisik-jasmaniah terpenuhi dengan baik, maka kamu akan sehat wal afiat.”
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia diwarnai dengan dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan kebodohan dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari. Sebagai treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Kelompok yang membenarkan adanya kebenaran dalam agama-agama non Islam ini, juga mengatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi, tetapi potensi itu tidak akan bisa menjadi aktual tanpa bimbingan guru. Ilmu yang ada pada manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1) panca indra; 2) argument; dan 3) perenungan akal. Jalan yang ketiga ini merupakan tahapan yang sederhana, dan akan mencapai ma’rifat Allah jika melalui hidup zuhud (asketis) dan amal saleh.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1.      Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2.      Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3.      Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.  Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri. 
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.  Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan indrawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi. 
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong).  Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindra, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
C.     Tujuan Pendidikan menurut Ikhwan al-Safa
Untuk mengetahui tujuan pendidikan, tidak bisa lepas dari pembahasan tentang konsep manusia. Karena merekalah pelaku pendidikan. Sebagai konsekuensi logis, jika kita ingin mengetahui apa tujuan pendidikan ala Ikhwan al-Safa, maka kita harus mengetahui diskursus mereka tentang manusia.
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya.
Namun dualistik yang mewarnai manusia, lanjutnya, tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari, sehingga terjadi keragaman antar individu, seperti ada individu yang berbakat menjadi pedagang, da’i, guru dan lain-lain.
Ragam potensi kognitif dan indrawiah juga memengaruhi pula pada potensi moral-etik yang juga beragam antara manusia, sebagaimana beragamnya potensi kognitif-intelektual. Menurutnya, moral yang bersandar pada karakter dasar manusia adalah kecenderungan kuat pada anggota badan, dan pada gilirannya akan memudahkan dalam merefleksikan dalam tindakan nyata. Sebagai contoh, misalnya seseorang berkarakter pemberani maka dia akan merasa enteng menghadapi hal-hal yang menakutkan. Tetapi jika dia berkarakter penakut, dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan dia akan pikir-pikir dahulu atau penuh pertimbangan, begitu seterusnya.
Ikhwan al-Safa juga mengakui adanya potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Mereka menggambarkan kehidupan sosial sebagai tatanan (sistem) fungsional-komplementer, di mana tiap-tiap potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat sistemik (sub sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya sebuah tatanan (sistem) tersebut. Namun tidak diragukan bahwa fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarkhi paling atas dan mulia dibanding fungsi-fungsi lainnya.
Berangkat dari eksplanasi di atas, bahwa manusia diliputi oleh dua hal, yaitu positif dan negative (baik dan buruk). Maka tujuan pendidikan bagi manusia, menurut Ikhwan al-Safa, secara umum, adalah untuk mencapai kebaikan. Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya terdapat perbedaan. Ikhwan al-Safa memberikan porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan ­global-sosial adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).
Namun tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral.


sumber:
Ahwani (al), Ahmad Fuad, Tarbiyah fi al-Islam, Mesir, Dar al-Ma’arif
Azyumardi, Azra, Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 2002
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, Bandung, Nuansa Cendekia, 2004
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996
Hidayatullah,  Furqon Syarif, konsep pendidikan ikhwan al-safa dalam media pendidikan ,vol XXIII,no.3 desember 2008
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1985
Majid, Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, Bandung,  Mizan, 2002
M.M. Syarif (ed), A. Historis of Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz Wiesbaden, 1963
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997
Nasution, Hasyimsyah,  Filsafat Islam,. Jakarta, Gaya Media Pratama 1999
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta,
Ciputat Pers, 2002
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996
Ridla,  Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Sirojuddin. 2009. Filsafat Islam. Jakarta: Rajawali Press
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta, Logos, 1994
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001
www.wikipedia.org.