A.
Sejarah
Ikhwan al-Safa
Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan
al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama
yang diusulkan untuk mereka sandang.
Ikhwan
al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak
secara rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M)
di Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl,
dan Abna’ al-Hamd.
Salah satu ajaran Ikwan al-Safa adalah paham taqiyah (menyembunyikan
keyakinan), paham ini disebabkan basis kegiatannya berada ditengah-tengah
masyarakat sunni yang nota bene adalah lawan ideologi dari Ikhwan al-Safa
(Syi’ah), kerahasiaan kelompok ini juga disebabkan oleh dukungan mereka
terhadap faham mu’tazilah yang telah dihapuskan dari madzhab Negara oleh
khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte sunni). maka kaum rasionalis dicopot
dari jabatan pemerintahan kemudian diusir dari Baghdad.
Berikutnya
penguasa melarang mengajarkan kesusateraan, ilmu, dan filsafat. Kondisi yang
tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Berdasarkan
permasalahan itulah kelompok ini selain bergerak di bidang keilmuan juga
bertendensi politik.
Pada masa
khilafah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham sunni, gerakan
kelompok ini dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya
dipandang sesat. Maka pada tahun 1150 Khalifah Al-Muntazid menginstruksikan
agar seluruh karya filsafat Ikhwán dibakar.
Hal ini disebabkan karena perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salajikah
yang Sunni dengan kelompok Ikhwan al-Safa yang Syiah.
Ikhwan
al-Shafa’ merupakan gerakan yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya
dan pemikiran rasional umumnya. Tokoh terkemuka kelompok ini adalah Ahmad ibnu
Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan
sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa’ah selaku ketua dan Abu al-Hasan Ali ibnu
Harun al-Zanjany.
Lahirnya Ikhwan
al-shafa’ adalah ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan
kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat telah dinodai
bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan.
• Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, kelompok yang berusia 15-30
tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus
murid, karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
• Al-Ikhwan al-Akhyar , yakni kelompok yang berusia 30-40
tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah,
kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
• Al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok yang berusia
40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim.
Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
• Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas.
Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu
memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada diatas alam realitas,
syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-muqarrabun.
Salah
satu karya fenomenal Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan
al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada
abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi
mereka merahasiakan identitasnya.
Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok
pertama, berisi
empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Safa,
angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar
semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna.
Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2)
geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi
harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok
kedua, terdiri
atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara
kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak
terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok
ketiga, terdiri
atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip
intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles),
hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok
keempat, terdiri
atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan
pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan
makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh,
azimat, dan aji-aji.
B.
Konsep
Pendidikan Ikhwan al-Safa
Wilayah
pendidikan meliputi, antara lain: tempat (keluarga, sekolah, masyarakat);
pelaku (diri sendiri, orang lain, lingkungan); dan daerah (hati, akal,
jasmani). Namun secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha
mendewasakan atau mencapai kedewasaan seseorang melalui pengajaran dan
pelatihan.
Dalam konteks Islam, pengertian pendidikan dengan
seluruh totalitasnya inheren dengan konotasi istilah tarbiyyah, ta’lim dan
ta’dib yang harus dipahami secara bersama-sama.
Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia,
masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling
berkaitan satu sama lain.
Walaupun bukan merupakan suatu komitmen, kata tarbiyah
merupakan kata yang paling populer untuk menunjuk pendidikan di negara-negara
Arab, sehingga kita lebih sering mendengar istilah Kulliyyah Tarbiyyah,
atau fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia daripada kata yang lain.
Penggunaan kata tarbiyah untuk menunjuk pendidikan pertama kali muncul, berkaitan
dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia Arab pada pertengahan abad
ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan istilah tersebut adalah Abdurrahman
al-Nahlawi.
Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan al-Shafa
menguraikan teorinya dengan komprehensif, sempurna, dan gradual. Secara garis
besar uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah aktivitas
moral untuk mencapai kebaikan bagi manusia. Dengan demikian, pendidikan
merupakan hal yang urgensi dan esensi bagi manusia. Dan sebagai konsekuensi,
mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal tersebut.
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan
bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau pengalaman dari seseorang pada orang
lain. Tapi jauh lebih luas dari itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan
tidak dimulai sedari kecil, tetapi sejak seorang anak masih dalam kandungan.
Saran para dokter agar ibu yang hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya,
menurutnya, adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat berpengaruh pada
kesehatan bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh pada intelektual
dan kejiwaan sang bayi.
Keberadaan janin dalam rahim selama sembilan bulan, hanyalah demi kesempurnaan
bentuk dan kejadian sang bayi.
Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia akan terus
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan al-Safa
menganalogikan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan kertas
putih dan bersih, tidak ada tulisan apapun, sebagaimana sabda Nabi SAW. sewaktu
jiwa telah diisi oleh suatu pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar
maupun yang batil, maka sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk
dihapuskan. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehatan indrawi bayi atau
anak hendaknya diberikan sejak dini, karena ia merupakan jendela masuknya dunia
luar ke dalam jiwa.
Kesadaran kuat Ikhwan al-Safa terhadap urgensi indra dalam memperoleh
pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran
empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran
dan fungsi fisik-jasmani untuk kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya.
Dalam risalah yang lain, mereka menekankan perlunya memperhatikan
fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama agar jangan
sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya kebutuhan makan,
minum, gerak dan istirahat dari fisik-jasmaniah terpenuhi dengan baik, maka
kamu akan sehat wal afiat.”
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa manusia
tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, yang mana antara
keduanya memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi. Oleh karena itu,
kehidupan manusia diwarnai dengan dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati,
kepandaian dan kebodohan dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia
tersebut tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan
ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang
lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun
kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari. Sebagai
treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan
perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Kelompok yang membenarkan adanya kebenaran dalam
agama-agama non Islam ini, juga mengatakan bahwa setiap manusia memiliki
potensi, tetapi potensi itu tidak akan bisa menjadi aktual tanpa bimbingan
guru. Ilmu yang ada pada manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1) panca
indra; 2) argument; dan 3) perenungan akal. Jalan yang ketiga ini merupakan
tahapan yang sederhana, dan akan mencapai ma’rifat Allah jika melalui hidup
zuhud (asketis) dan amal saleh.
1.
Dengan
pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2.
Dengan
akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3.
Melalui
inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling
akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa
Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih
menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya
sendiri.
Dalam hal anak
didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik
ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga.
Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas
yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan
ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran
ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi
dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal
tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa
berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan
sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis
dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut
bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia,
setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia
kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima
rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan indrawi ini melimpah ke dalam
jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat),
kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan
(al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah
al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan
Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa
manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk
beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal
”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong).
Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat,
sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan
teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa
juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan
pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan
al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah
(harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato
memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang
dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato
mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat
mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka
jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui
segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad.
Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan
dengan alam ide.
Dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara
ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap
ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah)
semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu
agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah,
terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu;
matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada
kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis
pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindra, akal, dan inisiasi.
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu,
akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak
mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan
inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
C.
Tujuan
Pendidikan menurut Ikhwan al-Safa
Untuk mengetahui tujuan pendidikan, tidak bisa lepas
dari pembahasan tentang konsep manusia. Karena merekalah pelaku pendidikan.
Sebagai konsekuensi logis, jika kita ingin mengetahui apa tujuan pendidikan ala
Ikhwan al-Safa, maka kita harus mengetahui diskursus mereka tentang manusia.
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan
dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan ketuaan, takut dan
berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan,
baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik
lainnya.
Namun dualistik yang mewarnai manusia, lanjutnya,
tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh ragam potensi individual
yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar
setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun
kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari, sehingga
terjadi keragaman antar individu, seperti ada individu yang berbakat menjadi
pedagang, da’i, guru dan lain-lain.
Ragam potensi kognitif dan indrawiah juga memengaruhi
pula pada potensi moral-etik yang juga beragam antara manusia,
sebagaimana beragamnya potensi kognitif-intelektual. Menurutnya, moral
yang bersandar pada karakter dasar manusia adalah kecenderungan kuat pada
anggota badan, dan pada gilirannya akan memudahkan dalam merefleksikan dalam
tindakan nyata. Sebagai contoh, misalnya seseorang berkarakter pemberani maka
dia akan merasa enteng menghadapi hal-hal yang menakutkan. Tetapi jika dia
berkarakter penakut, dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan dia akan
pikir-pikir dahulu atau penuh pertimbangan, begitu seterusnya.
Ikhwan al-Safa juga mengakui adanya potensi
psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Mereka
menggambarkan kehidupan sosial sebagai tatanan (sistem) fungsional-komplementer,
di mana tiap-tiap potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan
alat-alat sistemik (sub sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi
tegaknya sebuah tatanan (sistem) tersebut. Namun tidak diragukan bahwa
fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarkhi paling atas dan mulia dibanding
fungsi-fungsi lainnya.
Berangkat dari eksplanasi di atas, bahwa manusia
diliputi oleh dua hal, yaitu positif dan negative (baik dan buruk). Maka tujuan
pendidikan bagi manusia, menurut Ikhwan al-Safa, secara umum, adalah untuk
mencapai kebaikan. Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan,
yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya
terdapat perbedaan. Ikhwan al-Safa memberikan porsi lebih kepada
kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan pendidikan adalah untuk
mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan global-sosial adalah untuk pembentukan
karakter diri (al-suluk).
Namun tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan
adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar
dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu hanya bisa direalisir dengan komitmen
seseorang terhadap perilaku moral.
sumber:
Ahwani
(al), Ahmad Fuad, Tarbiyah fi al-Islam, Mesir, Dar al-Ma’arif
Azyumardi, Azra, Pendidikan
Islam, Jakarta, Logos, 2002
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Farrukh,
Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam,
Bandung, Nuansa Cendekia, 2004
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996
Hidayatullah, Furqon Syarif, konsep pendidikan ikhwan
al-safa dalam media pendidikan ,vol XXIII,no.3 desember 2008
Langgulung,
Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1985
Majid,
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh
Zaimul Am, Bandung, Mizan, 2002
M.M. Syarif (ed), A. Historis of
Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz Wiesbaden, 1963
Nata,
Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,. Jakarta, Gaya Media
Pratama 1999
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis, dan Praktis, Jakarta,
Ciputat
Pers, 2002
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Sirojuddin. 2009. Filsafat Islam. Jakarta:
Rajawali Press
Stanton, Charles Michael, Pendidikan
Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta, Logos, 1994
Tafsir, Ahmad,
Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001
www.wikipedia.org.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar