Perlunya al-Qur’an itu ditafsirkan
karena pada hakekatnya al-Qur’an merupakan kalam Allah dan substansi dari
al-Qur’an itu sendiri masih bersifat global sehingga belum adanya terlihat
spesifikasi yang lebih jelas. Jika kita memaknai Al-Qur’an apa adanya niscaya
kita akan mengalami kesulitan dalam memahaminya, oleh karena itu para ulama
menyepakati perlu adanya suatu kaedah dalam menafsirkan al-Qur’an agar kita
dengan mudah memaknai serta memahami substansi dan kandungan-kandungan ayat
dari kalam Allah tersebut.
Adapun keharusan seseorang dapat
menafsirkan al-Qur’an antara lain adalah harus mampu menguasai ilmu alat yaitu
tentang bahasa arab misalnya nahwu, sorof, asbabun Nuzul secara menyeluruh,
mantiq dan balagoh yakni tentang sastra arab, majas-majas dan harus mengetahui
nasikh-mansukh yaitu hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya yang
terdapat dalam al-Qur’an. Jika syarat-syarat tersebut telah di penuhi niscaya
akan dengan mudah mengetahui makna-makna yang belum di spesifikasikan
sebelumnya dalam al-Qur’an.
Tafsir adalah aktivitasnya,
sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain
Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang:
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang
dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan
kemampuannya. Ia melatih dirinya terhadap manhaj para mufassir dengan
mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia
menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”
Menafsirkan Al-Quran merupakan
perbuatan dan amanah yang berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki
otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan
Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini
merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Sebagaicontoh : dalam
bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika
tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka
praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan
malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan
tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi
kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
Dalam hal ini Imam Ibn Abid Dunya
mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak
bertepi.”
Menurut Imam Ibnu Jarir al-Ṭabarī,
ciri-ciri para penafsir, yang paling mendekati kebenaran dan paling bagus
tafsirnya adalah: mereka yang paling jelas argumentasi atas penafsiranya dan
paling benar penalarannya terhadap ilmu yang diutarakannya dari segi arti
kalimat dengan cara mencocokkannya dengan syi’ir, amthāl, dan bahasa Arab, dan
pendapat ulama salaf seperti sahabat, tabi’in, dan para ulama. Oleh karena itu,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwasanya penafsiran seseorang sangat
bergantung pada kualitas ilmu, kecondongan, dan keyakinannya. Inilah alasan
mengapa penafsiran itu bersifat relatif dan tidak kebal kritik. Dengan kata
lain, ketika penalaran manusia yang relatif dicurahkan pada al-Quran yang
bersifat absolut, maka hasilnya relatif karena adanya pengaruh unsur-unsur
manusiawi di dalamnya. Tidak seorang pun berhak mengklaim penafsirannya adalah
kata-kata Allah, karena ia lebih pada hasil olah otaknya yang serba terbatas.
1.
Syarat-syarat
mufassir
Beberapa
tokoh mengemukakan syarat yag berbeda yang harus dimiliki mufassir. Antara lain
adalah:
a.
Syeikh Jalaluddin as-Suyuthi:
Syarat
bagi seorang nufassir adalah menguasai ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu lughah,
ilmu isytiqaq, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu qiraat, ilmu kalam,
ilmu ushul fiqh, ilmu asbabun nuzul, ilmu qashas, ilmu nasikh mansukh, ilmu
hadits dan ilmu mauhibah.
b.
Syeikh Manna’ al-Qaththan:
Secara
ringkas, syarat dan tata cara menafsirkan adalah harus berakidah yang benar,
bersih dari hawa nafsu, menafsirkan lebih dulu, Alquran dengan Alquran, mencari
penafsiran dari sunnah, karena al-Sunnah, pendapat para sahabat dan dari
tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok
ilmu yang bertalian dengan Alquran (‘ulum al-Quran) dan memiliki ketajaman
fikiran.
2.
Kode
etik yang diperlukan oleh mufassir.
Selain
mempunyai ilmu pengetahuan yang luas tentang tafsir para mufassir perlu
memiliki dan menampakkan budaya yang bagus dan etika yang indah dan bersahaja.
Adapun etika yang harus dimiliki oleh mufassir adalah:
a.
Niat yang baik dan tujuan yang murni, karena amal perbuatan itu ber-gantung
pada niat.
b.
Karakter yang baik, sebab mufassir sebagai seorang pendidik yang didikan-nya
itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti
dalam hal dan akhlaq perbuatan mulia.
c.
Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melalui orang
yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang me-miliki ketinggian pengetahuan
dan kecermatan kajiannya.
d.
Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak berbicara
atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayat-kannya.
e.
Kerendahan hati dan kelembutan, karena kesombongan ilmiah merupa-kan dinding
kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan ke-manfaatan ilmunya.
f.
Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang
remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai
peminta-minta yang buta.
g.
Terus terang dalam kebenaran, karena jihad paling utama adalah me-nyampaikan
kalimat yang hak di hadapan penguasa zhalim.
h.
Tingkah laku baik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan ter-hormat dalam
semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan,
namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
i.
Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam
berbicara, tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas, kata
demi kata.
j.
Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufassir
hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai
pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka
wafat.
k.
Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti
memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, me-nerangkan susunan
kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan i'rab yang padanya bergantung
penentuan makna.
Itulah beberapa syarat yang harus
dimiliki oleh seseorang yang akan menafsiri Alqur an(secara mandiri).
Sebagaimana seorang mufassir kontemporer, ia
harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan. Tiga syarat pengetahuan
tersebut adalah:
1. Mengetahui
secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran
terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud
universalitas Islam.
2. Mengetahui
pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia
saat ini agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada
Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap
problematika kontemporer.
3. Memiliki
kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk
memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di
atas, seorang mufassir juga harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam
menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin
menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya
dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan
ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas
penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka
ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas
bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus
mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui
penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada
saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman
yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi
kontradiksi antar pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada
pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai
makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang
yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’. Manhaj
(metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para
ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Dan Manhaj ini yang pertama
kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’yu
sebatas yang diperbolehkan, tentu saja setelah ia mengetahui serta memenuhi
syaarat-syarat di atas.
Mengingat pada zaman modern ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan pesat, maka sebagian ulama mengarang kitab
tafsir dengan metode-metode tertentu sebagai akibat dan respons terhadap
tantangan itu. Ini berarti seorang penafsir yang hidup saat ini dituntut
menguasai jauh lebih banyak disiplin ilmu daripada para penafsir sebelumnya,
terutama ilmu-ilmu yang sedang berkembang dan dikaji saat ini.
Sebagai contoh, tafsir al-Jawāhir fī
Tafsīr al-Qur`ān al-Karīm karya Ṭanṭāwī Jawharī (1287-1358 H/ 1870-1940 M).
Dalam tafsir ini ia membahas tentang keajaiban-keajaiban alam secara ilmiah
dengan teori-teori modern dan ilmu-ilmu baru yang belum pernah ‘dijamah’ oleh
orang-orang Arab. Menurutnya, di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat ilmu
pengetahuan yang jumlahnya lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Ia juga
menganjurkan umat Islam agar memikirkan ayat-ayat al-Quran yang menunjuk pada
ilmu-ilmu alam, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan, untuk masa kini,
harus lebih diperhatikan daripada ayat-ayat lain, bahkan dari
kewajiban-kewajiban agama sekalipun. Tafsir ini dipandang sebagai karya tafsir
sarjana Islam kontemporer yang kurang berhasil, karena memuat uraian-uraian
yang terlalu melebar, mencakup hal-hal yang kurang perlu. Bahkan Ṣubḥī al-Ṣāliḥ,
sebagaimana dinukil oleh Rif’at Syauqi Nawawi, menilai sinis tafsir ini karena
di dalamnya terdapat segalanya kecuali tafsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar